Kamis, 07 November 2013

REVIEW JURNAL ETIKA PROFESI AKUNTANSI

Judul : Evaluasi Implementasi Pengungkapan Akuntansi Lingkungan Hidup/PSAK No. 32 Pada Perusahaan Pengusahaan Hutan Yang Go Publik Di Indonesia.
Penulis Eksa Ridwansyah, Damayanti
Sumber : http://ojs.jurnal-esai.org/index.php/ojsesai/article/view/28

Pendahuluan
Saat ini laju kerusakan lingkungan hutan dan sumber daya di dalamnya telah sangat
memprihatinkan berbagai pihak, khususnya oleh para pemerhati lingkungan. Berdasarkan data World
Resource Institute tahun 1997 dalam Restiati (2008) luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan
kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya
sebesar 72%. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun, menyebabkan
penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6
juta hektar per tahun, sedangkan periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan
Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia.
Hutan yang rusak dapat menyebabkan penduduk dunia ini akan kehilangan kualitas oksigen.
Selain itu, fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah akan terganggu, hilangnya flora dan fauna. Hal
ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta
tanah longsor pada musim penghujan. Catatan Bakornas Penanggulangan Bencana tahun 2003 dalam
Restiati (2008), sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana
di Indonesia dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah, dimana 85% dari bencana
tersebut merupakan bencana banjir dan tanah longsor.
Salah satu pihak yang paling bertanggung jawab atas laju kerusakan hutan dan sumber daya
di dalamnya adalah perusahaan pengusahaan hutan dalam hal ini perusahaan yang memproduksi timber, pulp dan kertas. Bagi perusahaan ini, hutan merupakan sumber bahan baku utama bagi proses
produksi mereka. Industri perkayuan, pulp dan kertas di Indonesia memiliki kapasitas produksi sangat
tinggi dibanding ketersediaan kayu. Bahkan dalam Surat Kabar Sinar Harapan dalam Restianti (2008)
dilaporkan bahwa industri ini mengalami kekurangan pasokan bahan baku dibandingkan dengan
kapasitas produksi mereka (Tabel 1). Kekurangan bahan baku tersebut menjadi salah satu penyebab
yang disinyalir menjadi alasan penebangan tak terkendali dan merusak.
Dalam rangka mendorong peningkatan kesadaran lingkungan hidup, pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan
lingkungan hidup. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) selaku pihak terkait juga ikut serta memberikan
perhatian dengan mengeluarkan Pernyataan Standar Akuntansi Kehutanan (PSAK NO. 32), Standar
ini mengatur antara lain: penyusunan dan penyajian laporan keuangan bagi perusahaan yang bergerak
dan beroperasi di bidang kehutanan, sehingga dapat memberikan keseragaman dalam penyajian
informasi dan dapat digunakan sebagai dasar yang andal dalam proses pengambilan keputusan.
Laporan keuangan merupakan hasil dari kegiatan operasional yang dilakukan oleh perusahaan
untuk dilaporkan kepada pihak internal maupun eksternal perusahaan. Pada PSAK 01 dipaparkan
bahwa laporan keuangan yang lengkap terdiri dari komponen-komponen, yaitu: a) neraca, b) laporan
laba-rugi, c) laporan perubahan ekuitas, d) laporan arus kas, dan e) catatan atas laporan keuangan.
Catatan atas laporan keuangan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari laporan
keuangan karena ia berfungsi untuk mengungkapkan: a) informasi tentang dasar penyusunan laporan
keuangan dan kebijakan akuntansi yang dipilih dan diterapkan terhadap peristiwa dan transaksi yang
penting; b) informasi yang diwajibkan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan tetapi tidak
disajikan di neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas dan laporan perubahan ekuitas; c) informasi
tambahan yang tidak disajikan dalam laporan keuangan tetapi diperlukan dalam rangka penyajian
secara wajar.
Kewajiban pengungkapan informasi/kondisi lingkungan melalui catatan atas laporan keuangan
diharapkan dapat mendorong perusahaan pengusahaan hutan untuk mencapai kinerja lingkungan yang
lebih bagus, karena semakin bagus dan komprehesif informasi lingkungan akan membentuk
citra/image perusahaan sekaligus membangun kepercayaan investor. Oleh karena itu, pengungkapan yang memadai sangat diperlukan oleh investor dalam pengambilan keputusan terhadap risiko dan
keuntungan dari investasinya. Memadai atau tidaknya pengungkapan informasi lingkungan hidup
ditentukan oleh kecukupan informasi yang disajikan dengan mengacu pada PSAK NO. 32.
Menurut Susanto dalam Subroto (2003), informasi yang terkandung dalam laporan keuangan
sangat penting sebagai dasar untuk mengalokasikan dana-dana investasi secara efisien dan produktif.
Daarough (1993) dalam Subroto (2003) menunjukkan arti penting informasi laporan keuangan dengan
menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan memberikan laporan keuangan kepada stakeholders
dengan tujuan untuk memberikan informasi yang relevan dan tepat waktu agar berguna dalam
pengambilan keputusan investasi, monitoring, penghargaan kinerja dan pembuatan kontrak-kontrak.
Susanto (1992) dalam Subroto (2003) menyatakan dalam laporan keuangan dapat dipahami dan tidak
menimbulkan salah interpretasi, maka penyajian laporan keuangan harus disertai dengan
pengungkapan yang cukup (adequate disclosure).
Pengungkapan laporan keuangan dapat dilakukan dalam bentuk penjelasan mengenai
kebijakan akuntansi yang ditempuh, kontinjensi, metode persediaan, dan jumlah saham yang beredar
dan ukuran alternatif, misalnya pos-pos yang dicatat dalam historical cost. Studi ini bertujuan untuk
menganalisis pengungkapan infomasi akuntansi lingkungan hidup (PSAK 32) dalam laporan keuangan
perusahaan pengusahaan hutan yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia.
Metode Penelitian
Penentuan sampel penelitian ditentukan secara single stage-cluster sampling, yaitu tipe
pemilihan sampel secara tidak acak pada suatu cluster/populasi. Populasi pada penelitian ini adalah
perusahaan pengusahaan hutan yang terdaftar di BEI. Adapun kriteria yang digunakan dalam
penentuan sampel dari populasi, adalah:
1) Perusahaan telah menyelesaikan kewajibannya dalam menyerahkan laporan tahunan (2004-2007).
2) Laporan tahunan perusahaan sampel tersedia dengan lengkap dan utuh.
Metode deskriptif dilakukan meliputi pengumpulan, penyajian dan penganalisisan data untuk
memperoleh gambaran yang jelas dari tujuan penelitian. Setiap kalimat yang membahas atau
menyebutkan aspek lingkungan hidup dan/atau berkenaan dengan itu akan didefinisikan sebagai
pengungkapan lingkungan. Kegiatan pengolahan data meliputi pengecekan dan perhitungan item-item
pengungkapan lingkungan hidup yang ada dalam laporan tahunan. Proses kuantifikasi menggunakan
teknik indexing yes/no approach yang merupakan bentuk paling sederhana dari metode content
analysis (Mirfazli, 2007). Pada teknik ini, angka 1 diberikan apabila suatu subkategori pengungkapan
informasi lingkungan hidup diisi atau diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan sampel,
sedangkan angka 0 diberikan pada subkategori yang tidak diungkap perusahaan sampel.
Selanjutnya dilakukan penghitungan indeks pengungkapan. Indeks pengungkapan
merupakan hasil pembagian antara skor pengungkapan yang telah diraih dengan total nilai
maksimum yang mungkin diraih. Perhitungan indeks menggunakan cara yang digunakan Subiyantoro (1996) yaitu: misal jika jumlah butir yang dijadikan pedoman kelengkapan
pengungkapan berjumlah 100 sedangkan yang dipenuhi perusahaan dalam laporan tahunannya
sebanyak 60, maka indeksnya sebesar 60/100 = 0,6. jadi rumusnya adalah:
Indeks =
n
k
Keterangan :
n = Jumlah butir pengungkapan yang dipenuhi
k = Jumlah semua butir yang mungkin dipenuhi
Hasil dan Pembahasan
Data yang analisis adalah Laporan Keuangan tahun 2004-2007 setiap perusahaan yang
disertai dengan Catatan Atas Laporan Keuangan Perusahaan telah menyelesaikan kewajibannya
dalam menyerahkan laporan tahunan (2004-2007). Berdasarkan kriteria penentuan sampel, diperoleh
3 perusahaan yang dapat dianalisis lebih lanjut yaitu PT Daya Sakti Unggul Corp, Tbk (DSUC), PT
Sumalindo Lestari, Tbk (SULI), dan PT Barito Pasifik Timber, Tbk (BRPT).
Kesimpulan
Secara keseluruhan dari tahun 2004-2007, perusahaan pengusahaan hutan memiliki tingkat
pengungkapan berkisar 57,5% sampai 80%, ini berarti penerapan PSAK 32 belum diterapkan secara
optimal oleh perusahaan pengusahaan hutan yang terdaftar di BEI.
Saran
Semua perusahaan pengusahaan hutan belum mengungkapkan jenis pembangunan
infrastruktur jalan dan jembatan. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi pengawasan kebijakan
perusahaan dalam pengungkapan rincian pembangunan infrastruktur jalan belum dilakukan secara
terencana. Oleh karena itu, rincian spesifik pembangunan jenis jalan dan pemeliharaan infratruktur

jalan dan jembatan perlu secara jelas diungkapkan perusahaan sebagai implementasi PSAK 32.